Kamis, 19 Maret 2009

STRANGE STORY

1. Minuman Rasa Ingus

Minuman yang dimaksud di sini adalah minuman sejenis minuman penyegar,, pokoknya yang seperti itu lah... Karena kebetulan waktu itu aku lagi minum M, so, M-lah yang kuceritakan sama kalian-kalian,,yuph!Yang jelas anak kecil suka banget sama minuman yang kaya gini. Biaaku sih, kalo di kantin sekolah dan sebagainya, minuman kayak gini ditambahin es batu…eh batu es(nanya guru bahasa Indonesia deh, yang bener yang mana), terus dihargai segelas harganya gopek!

Cerita ini udah lama banget terjadi, tapi aku masih ingat lho! Kira-kira saat aku masih SMP atau malah SD. Mungkin waktu aku masih SD kali ya,,lupa sih!

Yang pasti kejadiaanya lagi musim pilek(aduh…emang ada ya, musim pilek!),,soalnya adik aku yang galak bin nyebelin yang jarang – jarang pilek jadi pilek. Awal-awalnya aku lupa ceritanya gimana. Yang jelas dalam ingatan aku, aku sama adik aku lagi asyik-asyiknya minum Marimas rasa melon. Minumnya satu gelas berdua, pakai sedotan. Pasti asyiklah, romantis gitu (maksudnya?).

Eh, tanpa disadari adik aku yang lagi kena sindrom pilek, tiba-tiba nggak bisa nahan ingus yang keluar dari hidungnya dan mengalir sampai ke dasar gelas, he…he..he... Wa…menjijikkan ya? Tapi ya, memang begitulah kejadiannya. Ingusnya otomatis jatuh ke gelas yang berisi Marimas rasa melon yang kami minum bareng itu. So, aku langsung cepat-cepat mengambil tindakan (walaupun mungkin aslinya mikir-mikir duluan) : berhenti minum. Aku udah lupa sempat ngerasain tuh minuman atau nggak ya, he…he….he. Yang jelas, aku nggak mau lagi minum bareng sama orang yang lagi mengidap penyakit pilek..***

2. Tentang Eek

Kalau ndengerin kata eek atau tinja pasti pikiran kita udah jijik ya? Aku sebenarnya juga jijik kok ndengernya, apalagi kalian!But, karena sudah biasa, jadi nggak deh! Tenang aja, orang eek atau kentut itu normal kok. Seharusnya kita bersyukur loh, masih bisa eek dan atau kentut. Coba kalau seperti pakdhe aku yang harus masuk Rumah Sakit gara-gara nggak bisa kentut, hayo…

Kentut itu hidayah men…(penting nggak sih!)Entah gimana ceritanya, aku kok jadi familiar sama kata “eek”. Awalnya gara – gara waktu kelas sebelas SMA aku sakit diare alias mencret, he…he…he. Jorok banget ya! Mungkin waktu itu aku lagi stress gara-gara nggak biasa sama yang namanya PM alias Pendalaman Materi di sekolah aku yang maksain muridnya untuk berangkat jam setengah tujuh pagi. Dari rumah aku sampai sekolah butuh waktu kurang lebih setengah jam sampai empat puluh lima menit. Sebenarnya nggak terlalu jauh sih, tapi karena aslinya aku memang malas mandi(bangun pagi sih bisa, tapi kalo mandi diulur-ulur deh!) jadinya nggak bisa berangkat pagi deh. Waktu kelas sepuluh, aku sempat ngekos.

Kelas sebelas, aku pengen nyoba buat nglaju, soalnya udah umur 16 neh.agak peningkatan dikit-udah punya SIM(Surat Izin Menikah,,eh…Surat Izin Mengemudi)-terus pengen nyoba naik sepeda motor sendiri. Tapi ternyata nggak kuat deh! Jadinya, sekarang aku ngekos lagi. Sebelumnya udah dibilangin sama bapak waktu pengen nglaju.

Kata bapakku, “Besok kalau nglaju jangan bilang capek, jangan telatan, awas lho!”Kok malah jadi cerita ngekos sih? Kembali ke cerita eek. Back to eek! Karena aku sakit mencret itu, di sekolah, aku jadi sering eek juga. Di sekolah, aku sering membawa sabun dan minyak kayu putih.

Aku cerita sama teman dekat aku. Eh, ternyata dia malah nyebarin cerita aku. Akhirnya, teman-teman aku tahu kalau aku sering(walaupun nggak sering-sering banget) eek di sekolah. Nyebelin banget nggak sih?Tapi aku sudah kebal sama ejekan-ejekan dari teman-teman aku. Malahan, ternyata, salah seseorang dari teman aku yang mengejek aku juga maniak dengan eek. Dia cerita sama aku kalau dia juga sering eek, he…he…he. Dan kami jadi semakin dekat gara-gara eek juga.

Kami juga sepakat untuk membuat pin yang bertemakan tentang eek, yang bertuliskan rumus eek buatanku, yaitu : E2K = O.K. E artinya energi yang digunakan untuk eek. K artinya kecepatan eek waktu meluncur, dan O artinya sudut yang dibentuk antara eek dengan orang yang sedang eek. Selain itu juga ada tulisan “je veux fa de caca”, yang dalam bahasa Prancis artinya “aku ingin eek”. Ternyata eek bisa mempererat persahabatan ya? Makasih ya, Ek!!***

3. Berenang di Kolam Lele

Kenangan waktu SD nih, kalau nggak salah waktu aku lagi kelas empat atau lima. O, iya, cerita ini juga pernah aku tulis pas ada tugas menulis Bahasa Indonesia kelas dua SMP. Entah lucu atau nggak, yang pasti aku masih ingat sama pengalaman ini. Ceritanya, aku dan teman-teman SD aku—seingat aku, teman-teman aku itu: Heni, Mbak Retno, dan kayaknya masih ada yang lain, tapi aku lupa sama siapa lagi. Ya udahlah, lanjut aja ya! Kami bareng-bareng akan main ke tempatnya Heni. Waktu bermain pun tiba, aku pun pergi ke rumahnya yang ada di Sabrangkali. Nama desanya lucu ya!

Aku sempat mikir mungkin desanya ada di seberang sungai, ternyata nggak juga. Desanya memang ada sungainya, tapi hanya sungai kecil yang ada di dekat sawah. Setelah aku sampai di rumah teman aku itu, kami ngobrol-ngobrol biasa.

Tak lama kemudian, kami sudah mulai boring ngobrol—kemudian kami jalan-jalan di belakang rumah Heni. Di belakang rumahnya, ada hamparan sawah yang luas menghijau (kok jadi puitis gini ya?). Ada pohonnya, dan ada kolam lelenya juga. Ngomong-ngomong soal kolam lele, sebenarnya itu belum jadi kolam lele, baru hampir jadi kolam lele. Bentuknya persegi, tapi agak mirip persegi panjang gitu deh! Terbuat dari tanah, he….he…he—alias kolam lele alami. Ada tangganya juga, dan tentu saja terbuat dari tanah-alias bukan kolam dari semen. Dan satu lagi, sudah diisi dengan air, tapi belum diisi dengan lele loh!

Entah kenapa, waktu itu salah satu dari kami berinisiatif untuk coba-coba berenang di kolam itu. Akhirnya, aku, Heni, Mbak Retno, dan Nino(adiknya Heni) pun berenang di kolam itu. Tapi jangan salah, kami masih pakai baju kok! Lagipula, itu kan di ruangan terbuka. Nggak mungkin lah, kalau kami bertiga nggak pakai baju! O, iya, waktu itu aku pakai busana muslim, jadi atasannya panjang (hampir menyentuh lutut). Terus, aku mikir kalau celana panjang aku lebih baik aku lepas, dan aku taruh di dekat situ.

Acara berenangnya asyik lo! Pokoknya aku suka banget sama yang namanya kegiatan yang ada hubungannya dengan air. Misalnya, kalau pas SMP, aku sering disuruh ibuku untuk nyuci (tapi sering nggak nurutnya). Kalau pas lagi nurut, alasan utama aku bantuin ibuku nyuci adalah agar bisa main air. So, aku dan adik aku hanya mencuci baju sedikit, pasti bisa sampai berjam-jam, he…he….he. Nggak beda dengan berenang. Pokoknya betah banget deh! Walaupun waktu itu aku, Heni, Mbak Retno, dan Nino kotor oleh air tanah, rasanya nggak bisa diungkapin dengan kata-kata. Ternyata berenang ada akhirnya juga(ya iyalah…).

Habis capek berenang, aku lalu keluar dari kolam dan mencari celana panjang aku. Dan ternyata nggak ada! Aku langsung berprasangka kalau Mbak Retno yang berusaha menyembunyikan celana panjang aku itu. Soalnya, dia tipenya jahil dan menyebalkan. Dan ternyata memang benar, aku melihatnya berlari membawa celana panjangku itu. Dia lari ke jalan raya! Untungnya, jalan yang berada di depan rumah teman aku itu bukan jalan raya yang lebar, melainkan jalan beraspal yang biasanya hanya dilalui sepeda, sepeda motor, dan mobil.

Singkatnya, aku langsung lari mengejar Mbak Retno yang yang lari ke jalan raya dan hanya memakai atasan tanpa celana panjang. Untungnya atasannya busana muslim, jadi aku nggak terlalu untuk berlari-lari tanpa celana panjang.***

5. Ingus

Bersyukur itu memang nggak gampang ya? Entah kenapa sejak bayi aku udah sakit-sakitan. Walaupun semua orang pasti sakit, tapi kata ibu aku, waktu kecil aku memang anak penyakitan Dan kata ibu aku lagi, bapak aku kadang-kadang sampai dijemput supaya mbolos dari pengajian gara-gara demam aku waktu kecil kambuh. Penyakit aku yang paling sering aku derita selain demam yaitu pilek atau flu.

Yang namanya orang pilek pasti amat sangat menyebalkan. Mungkin julukan yang paling tepat untuk aku adalah anak ingusan, yang artinya anak yang selalu punya ingus. Capek deh! Paling sebelnya, aku harus ketergantungan dengan amanya sapu tangan dan kamar mandi. Sapu tangan kugunakan pas aku lagi di rumah.

Kalau di tempat umum seperti di sekolah biasanya ke kamar mandi. Kadang-kadang suka jijik , tapi mau bagaimana lagi? By the way, penyakit pilek aku waktu itu sampai menahun lho! Waktu itu bapak mengira polip—kalau nggak salah sejenis daging tumbuh yang ada di dalam hidung. Bapak aku sampai kewalahan.

Sebulan sekali ingus aku pasti disedot di rumahnya porofesor siapa…gitu, aku sudah lupa namanya. Dan tentu saja bayarannya waktu itu bisa dibilang nggak sedikit. Kadang-kadang aku berpikir hidup aku jadi terbebani hanya gara-gara sesuatu yang namanya ingus. Nyebelin ya? Ironis.Betapa betahnya sosok ingus hadir dalam kehidupan aku. Dan akhirnya kisah ingus aku harus berakhir dengan kebahagiaan.

Alhamdulillah, waktu aku hampir SMP, bapak aku bisa naik haji. Bapak aku bercerita waktu di hajar aswad (batu hitam yang ada di dekatnya ka’bah), bapak sempat mendoakan aku supaya penyakit pilek aku bisa sembuh. Entah bapak aku bohong atau nggak bohong, penyakit pilek menahun aku sekarang benar-benar sembuh. Walaupun kadang-kadang waktu musim hujan tiba, pilek aku kambuh lagi, setidaknya makhluk yang tidak pernah aku harapkan itu tidak mendatangi aku setiap saat.***

6. Upil dari Tisu

Yang namanya ingus, pasti nggak bisa lepas dari yang namanya upil. Tahu nggak upil? Atau jangan-jangan malah ada yang nggak tahu sama yang namanya upil! Upil itu ingus yang sudah kering, bentuknya bulat, dan warnanya biasanya abu-abu atau hitam. Jorok ya! Waktu aku masih jadi anak ingusan, aku punya upil banyak lho! Sekarang aku mau cerita waktu aku sedang main dengan adik aku di kamar nenek.

Entah kenapa, tiba-tiba aku punya ide untuk main upil-upilan. Mumpung ada bahan yang mendukung, yaitu tisu. Tanpa pikir panjang, siasat penipuan aku pun segera aku laksanakan. Lanjutin ceritanya ya! Aku membentuk tisu yang ada di kamar nenek aku tadi menjadi bulatan tisu-tisu yang kecil. Lalu, aku pegang salah satu dari gumpalan tisu itu dan aku masukkan dalam hidung aku—tapi masih dalam keadaan aku pegang dengan jari tangan.

Terus, aku bilang sama adik aku (dengan keadaan tangan masih memegang tisu yang kumasukkan dalam hidungku), “ Dhek, aku dapat upil lho, warnanya putih!” Adik aku yang waktu itu masih cupu (culun punya), tentu saja percaya dengan siasat bodoh aku.

Dia lalu bilang, “Aku juga bisa!”.

Adik aku lalu mencoba hal yang sama seperti yang aku lakukan, tapi bedanya dia benar-benar memasukkan gumpalan tisu itu ke dalam hidungnya tanpa dia pegang dengan tangan.

Selanjutnya, dia mencoba mengeluarkan gumpalan tisu itu dari hidungnya, tetapi nggak bisa! Dia hampir nangis. Aku nggak tahu harus gimana, soalnya aku nggak nyangka adik aku bakal melakukan hal itu. Aku jadi merasa takut dan bersalah.Untungnya, waktu itu adik aku sedang mengidap pilek. Aku nggak pernah menyangka kalau pilek bisa membawa kebahagiaan. Tanpa aku duga, tiba-tiba adik aku bersin.

Bisa ditebak kan, endingnya gimana? Gumpalan tisu yang membawa petaka itu bisa keluar dari hidung adik aku bersamaan dengan keluarnya ingus, he….he…..he.***

7. Mencoba Hal Baru

Kadang-kadang seseorang ingin mencoba hal yang baru. Begitu pula aku. Walau mencoba sesuatu yang baru itu nggak selamanya baik, tapi tetap saja pengen ngelakuinnya. Misalnya saja, aku pernah nyoba naik sepeda dengan tangan menyilang. Tentu saja, sepedanya oleng dan kehilangan keseimbangan.

Untungya, waktu itu jalan raya yang aku lalui sedang sepi, jadi nggak terjadi hal-hal yang aneh. Padahal, setelah aku berhasil nyeimbangin posisi sepeda aku, tiba-tiba ada sepeda motor yang melaju sangat kencang. Kalau saja motor itu datang bersamaan dengan olengnya sepeda aku, mungkin lain lagi ceritanya. Selain itu, ada hal aneh lagi yang aku lakukan. Waktu itu aku sedang main ke rumah nenek aku di Sanden (daerah Bantul).

Rumah nenek bergaya Jawa kuno alias joglo. Besar dan auranya seram. Ada istilah senthong (tiga kamar yang saling berdekatan), nggandhok, pringgitan, dan istilah Jawa lainnya. Susahnya, kalau lagi kebelet atau ingin ke kamar mandi, aku harus melewati banyak pintu. Capek deh! Lagipula, sebagian besar kancingnya juga kancing tradisional. Ditambah lagi, kamar mandinya tidak berpintu. Jadi, hanya tembok panjang. Pada awal-awal, aku merasa nggak nyaman dengan kamar mandi yang bergaya seperti itu. Risih rasanya. Kalau sedang mandi, aku selalu menaruh sandal jepit di luar pintu—dan juga mengeraskan suara mandi aku, sehingga agar dari luar terdengar “cebur, cebur!”. Habisnya, aku was-was sih, kalau tiba-tiba ada yang nggak tahu kalau aku lagi mandi di situ, terus nyelonong masuk…bisa gawat!Selain itu, di halaman rumah nenek aku terdapat sumur dan banyak pepohonan.

Aku tak habis pikir. Padahal, di dalam rumah sudah ada sumur. Mungkin karena kepercayaan orang Jawa yang banyak tetek bengek—atau mungkin kepercayaan yang seperti feng shui itu ya? Suasana pedesaan di rumah nenek aku juga sangat kental. Pohon kelapa yang tinggi menjulang sudah menjadi pemandangan yang biasa. Di dekat rumah nenek terdapat sungai yang airnya coklat. Walaupun begitu, waktu kecil aku sering main di sana dengan anak-anak desa tetangga rumah nenek aku. Pohon lain yang tumbuh juga, yaitu pohon tetehan. Pohon tetehan itu seperti tanaman perdu, tapi ada buahnya kecil berwarna hijau. Ceritanya dimulai dari pohon tetehan yang membawa petaka itu. Karena sifat ingin mencoba aku yang aneh, aku iseng-iseng metik buah tetehan yang besarnya kira-kira sebesar lubang hidung itu, aku masukkan ke dalam lubang hidung aku. Dan kebetulan itu pas banget! He…he…he.

Waktu itu aku cuma berniat untung coba-coba, tapi ternyata dampaknya fatal—buah tetehan itu nggak bisa dikeluarin! Aku lalu menangis sejadi-jadinya(sebenarnya agak lupa sih menangisnya kaya gimana). Yang pasti orang tua aku dan nenek turut ikut campur menangani kasus tersebut(kaya detektif aja). Karena benar-benar nggak bisa dikeluarin, akhirnya puskesmas pun ikut campur. Aku lalu dibawa ke puskesmas di desa nenek aku. Akhirnya, di sana buah tetehan itu bisa dikeluarin dengan peniti(kalau tidak salah lho).

Untunglah aku masih bisa diselamatkan. Aku masih ingat waktu perjalanan ke puskesmas yang begitu penuh dengan penderitaan. Gara-gara biji itu, aku jadi sulit bernafas. Yah, walaupun barang sepele, tapi ternyata nyusahin juga ya? So, kalau ingin mencoba hal baru, hati-hati ya! Jangan pernah ngelakuin hal yang resikonya lebih besar daripada manfaatnya.***

7. Penderitaan WanitaPernah nggak sih, kita berpikir kalau seorang wanita itu hidupnya menderita? Kalau menurut aku sih, iya. Seorang wanita, apalagi ibu—harus hidup dalam perjuangan yang nggak mudah. Dari zaman jahiliyah, bayi-bayi wanita harus dikubur hidup-hidup. Padahal, jelas-jelas tanpa kehadiran seoranng wanita, kita nggak akan bisa lahir di dunia ini. Menginjak remaja, wanita juga punya masalah tesendiri. Saat masa puber mulai tiba, wanita harus mengalami apa yang namanya haid alias datang bulan.

Dari harus ganti-ganti pembalut, nyuci celana dalam(he….kok ceritanya jadi jorok gini ya), terus kadang-kadang perutnya sakit waktu hari pertama.Yang paling menyusahkan, tentu saja soal perut yang sakit. Aku pernah mengalaminya sendiri. Waktu itu hari pertama aku datang bulan dan dibarengi dengan diare. Perut aku sakit sekali. Padahal, sebelumnya belum pernah sesakit itu. Sprei tempat tidur aku sampai aku tarik-tarik—sampai kamar tidur aku tidak karuan. Kemudian aku pindah ke kamar tidur ibu aku—terus aku melakukan hal yang sama juga. Kamar ibu aku juga jadi berantakan.

Waktu itu aku sempat berpikir yang nggak-nggak, soalnya hari berikutnya ada acara studi tour ke Pangandaran. Aku takut kalau besoknya aku nggak bisa ikut gara-gara sakit perut di hari pertama datang bulan. Wah, bisa gawat kalau begitu! bapak aku sempat menawarkan agar dibawa ke rumah sakit. Tapi, aku nggak mau. Habis, kayaknya berlebihan banget kalau sakit perut gara-gara datang bulan sampai dibawa ke rumah sakit segala. Kemudian ibu aku pun datang dan nawarin botol berisi air panas untuk ditaruh di atas perut yang orang Jawa sering bilang seko. Tapi cara itu rupanya nggak mempan juga.

Lagipula, ternyata botol plastik tempat air panas itu bocor. Ih, capek deh!Aku lalu ngusulin agar ibu aku membuatkan segelas air teh yang dicampur dengan garam. Biasanya, minuman ini digunain buat ngobatin orang yang sakit diare. Walaupun aku tahu, sebenarnya sakit perut aku itu karena haid, aku tetap nggak peduli.

Alhamdulillah, setelah aku habisin segelas air teh itu, aku ngerasa agak baik dan akhirnya sembuh juga setelah bangun tidur.Penderitaan wanita nggak selesai sampai di situ saja. Itu hanya masa-masa puber. Menginjak masa dewasa dan menjalani pernikahan serta perkawinan(he…he…), wanita lah yang harus melayani sang suami(maksudnya?). Apalagi yang namanya melahirkan. Walaupun yang namanya melahirkan itu belum pernah aku alami, tapi aku tetap bisa merasakannya.

Dari cerita orang-orang, melihat dari televisi, dan lain-lain—orang melahirkan itu pasti bekeringat, teriak – teriak, nangis, sampai ada yang pingsan segala. Karena apa? Yang pasti karena melahirkan itu susah dan capek. Bahkan, ada yang bilang kalau melahirkan itu perang antara hidup dan mati. Hi…ngeri ya?Begitu pula yang pernah dialami oleh ibu aku waktu melahirkan aku. Kata orang, kepala aku ukurannya nggak proporsional sama badannya, he…he. Habisnya kepala aku ukurannya agak besar. Waktu ibu aku mau melahirkan aku, pertama ibu aku dibawa ke rumah sakit di Bantul. Tapi, karena tidak bisa keluar-keluar juga, akhirnya aku dilahirkan di kota Yogyakarta. Wah, aku malah jadi anak kota! Kata ibu aku, proses melahirkan itu sakit banget lho. Ya, mungkin karena kepala aku yang besar—pokoknya sakit lah. Jadi, yang belum pernah melahirkan, siap-siap aja ya!Lain lagi ceritanya dengan budhe aku yang melahirkan begitu mudah. Masak melahirkan anak kok bisa-bisanya di dapur? Begitu mudahnya ya? Akhirnya nggak usah repot-repot nganter ke rumah sakit, nggak perlu biaya, nggak perlu rebut-ribut, nggak perlu teriak-teriak, nggak perlu nangis-nangis, dan nggak perlu pingsan. Enak ya?Lebih-lebih lagi, tetangga aku. Mau tahu nggak melahirkan anaknya dimana? Jawabannya yaitu di WC. Pasti nggak percaya kan? Tapi, aku mendengar dari mulut ibu itu sendiri lho! Ceritanya, waktu itu lagi lebaran.

Tradisi di kampung aku, setiap habis sholat Ied dan sungkem dengan ayah dan ibu, kita keliling-keliling untuk sungkem dengan para tetangga. O, iya, waktu itu aku nggak sholat Ied karena haid, hiks…hiks. Tapi, aku tetap ikut acara kelilling desa lho! Sore hari, aku, ibu, ayah, dan adik aku masih sungkem di salah satu tetangga aku. Kebetulan, waktu itu ibu yang aku maksud tadi juga sungkem di tempat yang sama. Ibu itu membawa anaknya yang dilahirkan di WC. Setelah sungkem, ibu aku langsung keceplosan teriak, “Loh, itu kan yang dulu lahir di WC itu!”.

Dan nggak lupa tangan ibu aku menunjuk ke bocah tadi. Wa…perasaan ibu aku jahat banget ya! Untungnya, yang ada di rumah tetangga aku itu hanya tetangga aku, keluarga aku, dan keluarga ibu aku aja. Nggak ada keluarga-keluarga lain. Wah, kalau ada, pasti ibu itu malu banget.Anehnya, ibu itu tadi malah nggak marah-marah. E…malah kami semua ketawa bareng-bareng.

Terus, malah ibu itu tadi cerita gimana proses beliau melahirkan anaknya di WC itu. Kata ibu itu, pertamanya beliau nggak nyangka kalau bakal melahirkan saat itu juga. Beliau hanya merasa kalau perut beliau sakit, tapi sakitnya agak aneh. Lalu, tanpa pikir panjang, ibu itu langsung pergi ke WC karena beliau mengira sakit perut itu karena kebelet eek. Eh, tak tahunya, setelah sampai di WC, malah yang keluar bukan eek, tapi….bayi. Dan ajaibnya, ibu itu sendiri yang membawa anaknya keluar dari WC. Wah, praktis banget ya!

Ternyata melahirkan anak memang nggak selalu sakit ya. Tapi, tetap saja yang namanya orang melahirkan itu pasti sebuah perjuangan yang sangat keras. Entah gampang atau nggak gampang, itu urusan belakang. Yang penting adalah bagaimana ibu kita merawat kita—saat masih dalam kandungan—apalagi diluar kandungan. Pastinya repot banget khan? Mungkin itulah yang membuat terciptanya pepatah “surga ada di telapak kaki ibu” .***8. 1st HaidHal lain yang membuat wanita lebih repot daripada pria selain melahirkan adalah masa- masa datang bulan atau haid. Wanita normal yang sudah baligh atau sudah dewasa pasti mengalaminya—yang mungkin pertama kali malu untuk mengakuinya.Aku haid pertama kali waktu duduk di kelas satu SMP. Pas lagi bulan puasa lagi…nyebelin banget khan?

Ditambah lagi, bapak aku mempermalukan aku karena aku tiba-tiba membatalkan puasa tanpa sebab yang jelas. Diledekin karena haid pasti malu banget.Kesan pertama waktu haid rasanya malu-malu gimana…gitu. Malu-malu kucing apa ya? Wah, jadi susah cari istilahnya. Pokoknya antara rasa percaya dan tidak percaya. Aku pikir aku belum pantas untuk itu, karena sifat aku masih kekanak-kanakan. Malahan aku sempat nangis. Tapi, akhirnya ibu menghibur aku dan menjelaskan kalau haid itu sudah menjadi kodrat bagi wanita—normal dan patut untuk disyukuri(karena kalau nggak dapet berarti nggak normal). Akhirnya aku bisa agak tenang.

Kemudian ibu aku juga mengajari bagaimana caranya memakai pembalut, dan aku jadi lebih paham.Berbeda dengan cerita aku yang akhirnya diberitahu oleh ibu aku. Aku sampai tertawa ngakak waktu diceritakan kisah ini oleh ibu aku—yaitu pengalaman pertama haid anak dari teman ibu aku(bingung nggak?). Namanya Ani(nama samaran). Dia haid pertama kali kalau nggak salah waktu SD. Parahnya, kejadiannya waktu tengah malam saat orang-orang sedang terlelap. Waktu itu dia sedang tidur ditemani oleh ibunya.

Entah bagaimana ceritanya, darah haid itu keluar. Tapi, yang dia rasakan adalah kebelet pipis(karena sebelumnya belum tahu sama sekali apa yang namanya haid). Langsung saja Ani pergi ke kamar mandi. Namun, yang terjadi bukanlah seperti apa yang dia bayangkan. Terang saja dia ketakutan setengah mati dan langsung menangis tersedu-sedu. Ibunya kemudian mendengar dan bangun. Setelah ditanya mengapa menangis dengan polosnya Ani menjawab,”Bu, alat kelaminku berdarah…”

Yah, begitulah akhir kisah yang dramatis tentang ibu yang terlambat memberitahu anaknya apa itu haid. Menurut aku, itu karena selama ini ini datang bulan masih dianggap tabu untuk dibicarakan oleh orang tua kepada anaknya. Mungkin karena soal kedewasaan sang anak atau karena dianggap nggak begitu penting untuk dibahas di masa anak-anak. Ya…tapi zaman sekarang, sepertinya masa puber seseorang semakin muda saja ya!

Maksud aku, sekarang banyak anak SD yang sudah mengalami datang bulan padahal badannya juga nggak begitu subur. Kalau memang demikian adanya, lebih baik seorang ibu harus sedini mungkin memberitahu kepada anaknya tentang tanda-tanda pubertas, daripada akhirnya harus berakhir dengan kejadian aneh seperti yang aku ceritakan tadi***

9. Ngompol

Kalau mau jujur, sebenarnya aku malu untuk menceritakan kisah mengompol aku. Bagaimana tidak? Kisah ngompol ini bukan ngompolnya anak bayi atau orok yang baru lahir ke dunia lho! Simak baik-baik ya,,Saat SMP kelas satu, ceritanya aku ngimpi ke kamar mandi. Kemudian aku melakukan hal layaknya orang ke kamar mandi—yaitu buang air kecil. Eh, ternyata, setelah aku bangun, aku merasakan kalau sprei tempat tidur aku basah. Akhirnya, aku menyadari kalau aku ternyata benar-benar buang air kecil, bukan hanya mimpi.

Wah, rasanya malu banget deh, anak SMP masih mengompol. Yah, namanya juga kecelakaan, mau gimana lagi?Saat SMA kelas satu aku juga melakukan hal yang sama. Ih, capek deh! Yang pasti rasa malunya lebih besar daripada ketika aku mengompol waktu di bangku SMP. Saat itu aku hanya merasa kedinginan, tapi entah kenapa tiba-tiba aku bangun dari tidur dan merasa ingin buang air kecil. Sialnya, rasa kebelet itu sepertinya nggak bisa ditahan.

Dan akhirnya aku ngompol di samping tempat tidur dalam keadaan berdiri. Untungnya, waktu itu aku sedang berada di rumah, bukan di kos-kosan. Langsung saja aku panggil ibu aku dengan berteriak. Ibu aku tentu saja nggak nyangka kalau aku sampai bisa-bisanya mengompol, padahal sudah kelas satu SMA. Lain lagi dengan kisah ngompol adik aku. Kisah pertama saat adik aku sedang sakit tulang. Nggak tahu juga sih! Seingat aku, tulang kakinya ada yang geser karena jatuh. Kemudian bapak aku mengantar adik aku ke salah satu dokter pakat tulang di kota aku. Tentu saja seperti yang dilakukan dokter-dokter lainnya, kaki adik aku ditarik oleh dokter itu supaya tulangnya kembali ke tempat semula.

Nggak nyangka, mungkin karena terlalu shock atau entah apa, adik aku tiba-tiba mengompol…Yang kedua kalinya, adik aku mengompol karena dimarahi oleh bapak aku. Layaknya ibu-ibu di desa tempat aku tinggal, ada pengajian rutin desa. Hanya bapak, aku, dan adik aku waktu itu yang tinggal di rumah. Aku dan adik aku bertengkar seperti biasanya. Tapi, saat itu aku sedang membawa sebuah buku tulis, dan adik aku tiba-tiba menyobek buku tulis aku. Terang saja, aku langsung mengadu ke bapak tentang hal itu.

Bapak aku tentu saja marah. Akhirnya, adik aku dihukum dikunci di kamar tamu. Tapi bukan hanya itu. Lampu kamar tamu dimainkan oleh bapak aku dengan cara dihidup-matikan. Kontan, adik aku ketakutan setengah mati, kemudian…ngompol deh!Sepertinya hanya itu saja kisah-kisah mengompol dari aku. Kisah mengompol yang lain,,ya…mengompolnya seorang bayi di pangkuan ibunya.

Pesan dari aku, lebih baik sebelum tidur ke kamar kecil dulu untuk menghindari ngompol. Ya, walaupun sudah besar nggak tertutup kemungkinan kita nggak bisa ngompol kan?***

1 komentar:

  1. wah ... nonor 6 tuh jadi merinding saya...
    sangat berbahaya sekali tuh!!

    BalasHapus